Tari Cokek (Betawi)
Posted By : Santi Ayu,
18 April 2015.
Tari Cokek adalah seni pertunjukan yang berkembang pada abad ke 19
M di Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. Tarian ini dimainkan oleh sepuluh
orang penari wanita, dan tujuh orang laki-laki pemegang gamang kromong, alat musik yang mengiringinya. Alunan musik gamang kromong merupakan hasil
kombinasi suara yang ditimbulkan oleh rebab dua dawai, suling, kempul, gong,
kendang dan kecrek.
Sejarah munculnya Tari Cokek berawal dari adanya pentas hiburan
yang diadakan oleh para tuan tanah Tionghoa yang tinggal di Tangerang. Dalam
pentas seni itu, Tan Sio Kek, yang merupakan salah satu tuan tanah di
Tangerang, mempersembahkan tiga orang penari sebagai wujud partisipasinya dalam
pesta hiburan rakyat itu. Pada awalnya, dia menyisipkan tarian para gadis
cantik tersebut sebagai pertunjukan tambahan. Namun, berawal dari pertunjukan
tambahan itulah, kemudian para penari ini menjadi terkenal dan berdiri sendiri
sebagai kelompok penari yang kemudian tariannya dinamakan Tari Cokek. Kata
cokek diambil dari tuan tanah yang bernama Tan Sio Kek, orang pertama yang
mengilhami pertunjukan tarian ini.
TARI
COKEK BETAWI (Dulu dibina oleh para cukong peranakan Cina)
Dalam sejarah kesenian Betawi, Cokek merupakan salah satu hiburan
unggulan. Selain luas penyebarannya juga dengan cepat banyak digemari
masyarakat Betawi kota sampai warga Betawi pinggiran. Pada kurun waktu itu
hampir tiap diselenggarakan pesta hiburan, baik perayaan perjamuan hajatan perkawinan
hingga pesta pengantin sunat. Dan ragam acara yang bersifat pesta rakyat.
Disanalah para penari Cokek mempertunjukan kepiawaiannya menari sambil
menyanyi. Barangkali memang kurang afdol
jika penari cokek sekadar menari. Karenanya dalam perkembangannya selain menari
juga harus pintar olah vokal alias menyanyi dengan suara merdu diiringi alunan
musik Gambang Kromong. Jadi temu antara lagu dan musik benar-benar tampil
semarak alias ngejreng beeng.
Sayang sekali dalam buku
“Ikhtisar Kesenian Betawi” edisi Nopember 2003 terbitan Dinas Kebudayaan dan
Permuseuman Propinsi DKI Jakarta, yang ditulis oleh H. Rachmat Ruchiyat, Drs.
Singgih Wibisono dan Drs. H. Rachmat Syamsudin, tidak menyebutkan sejak kapan
jenis tarian Cokek itu muncul ke permukaan. Tidak disebutkan pula secara jelas
siapa tokoh atau pelaku pertama yang memperkenalkan tarian egal-egol sembari
menggoyang-goyangkan pinggulnya yang kenes. Tentulah ada kegenitan lain yang
dimunculkan oleh para penari tersebut untuk menarik lawan jenisnya, Ditambah
kerlingan mata sang penari yang indah memikat para tamu lelaki untuk ikutan ngibing berpasangan di panggung atau
pelataran rumah warga. Orang Betawi menyebut Tari Ngibing Cokek. Selama ngibing mereka disodori minuman tuak
agar bersemangat. Mirip dengan Tari Tayub dari Jawa Tengah.
Tamu terhormat
Begitu indah dan familiarnya jenis tarian ini. Para penari wanita
yang berdandan dan bersolek menor, wajahnya diolesi bedak dan bibir bergincu,
ditambah aroma wewangin minyak cap ikan duyung. Pada tarian pembukaan para
penari berjoget dalam posisi berjajar ke samping, mirip posisi jejer panggung
kesenian Ketoprak Jawa. Mereka merentangkan tangan setinggi bahu, sambil
melangkahkan gerak kaki maju-mundur diiringi lagu-lagu khas Gambang Kromong.
Kemudian mereka mengajak menari kepada para tamu yang hadir dengan mengalungkan
selendang.
Penyerahan selendang
biasanya diberikan kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila sang tamu
bersedia menari maka mereka pun mulai menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan
pada jarak dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada
pasangan yang menari saling membelakangi. Kalau kebetulan tempatnya luas, ada
beberapa penari berputar-putar membentuk lingkaran. Selesai menari, para tamu pengibing memberikan imbalan berupa
uang kepada penari cokek yang melayani. Lumayan, dalam semalam tiap penari
cokek bisa mengumpulkan uang yang cukup banyak jumlahnya. Bisa dibelanjakan
barang-barang kebutuhan pribadi seperti pakaian, sepatu, sandal atau apa saja
menurut kesenangan mereka.
Fungsi ekonomi
Dari sisi ini bisa ditafsirkan bahwa jenis tarian Cokek menyandang
fungsi ekonomi. Para Wayang Cokek selain mendapat imbalan berupa uang dari
penanggap juga mendapat tip
dari para lelaki yang berhasil digaet ngibing
bersama. Dulu boleh dibilang para seniwati Cokek mendapat penghasilan ajeg karena seringnya ditanggap. Beda
dengan masa kini dimana jenis kesenian Cokek kurang mendapat pasaran. Di zaman
teknologi modern, generasi baru Betawi di kota mau pun pinggiran merasa lebih
senang menanggap musik Orgen tunggal yang menampilkan penyanyi dangdut
berbusana seronok. Kemajuan dan pergeseran zaman memang sulit dicegah. Sekarang
orang lebih suka memilih hiburan yang serba instan di depan layar televisi. Barangkali agar jenis kesenian
Cokek tidak punah, hendaknya lembaga pemerintah daerah yang menangani jenis
kesenian Betawi melakukan tindakan preventif pembinaan yang cukup gencar dan
terus menerus.
Barangkali bisa menjadi contoh soal, sejak dahulu kala atau
mungkin hingga sekarang penari Cokek tampil santun mengenakan busana yang
menutup seluruh badan. Biasanya penari cokek memakai baju kurung dan celana
panjang serta selendang melingkar dililitkan dibagian pinggang. Kedua ujung
selendang yang panjang menjulur ke bawah. Fungsi selendang selain untuk menari
juga bisa untuk menggaet tamu laki-laki untuk menari bersama. Keindahan busana
itu pun tampak gemerlap terbuat dari kain sutera atau saten berwarna ngejreng banget, merah menyala,
hijau, kuning dan ungu, temaram mengkilap berkilauan jika tertimpa cahaya lampu
patromaks
Unsur hias pun terdapat di bagian kepala Wayang Cokek (sebutan
bagi penari cokek). Dimaksud agar tampak lebih cantik dan indah jika kepala
digoyang-goyangkan kekiri dan kekanan. Rambutnya tersisir rapi ke belakang. Ada
lagi yang dikepang disanggulkan dengan tusuk konde jaran goyang seperti rias pengantin Jawa. Ditambah hiasan dari
benang wol dikepang atau dirajut yang menurut istilah setempat disebut burung
hong.
Hidup enggan-mati ogah
Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, tari Cokek pada zaman
dahulu dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya rata. Jauh
sebelum Perang Dunia ke II meletus tari Cokek dan musik Gambang Kromong
dimiliki cukong-cukong golongan Cina peranakan. Bisa dilihat dari lagu yang
iramanya mirip lagu dari negerinya konglomerat Liem Swi Liong. Cukong-cukong
peranakan Cina itulah yang membiayai kehidupan para seniman penari Cokek dan
Gambang Kromong. Bahkan ada pula yang menyediakan perumahan untuk tempat
tinggal khusus mereka. Di zaman merdeka seperti sekarang ini, tidak ada lagi
yang secara tetap menjamin kehidupan dan kesejahteraan mereka. Ibaratnya
seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Walau pun sejak kurun waktu
belakangan ini telah berdiri kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi
DKI Jakarta, namun cara pembinaannya masih belum maksimal. Sehingga kesenian
Cokek sekarang sepertinya berada di ujung tanduk, hidup enggan mati pun ogah.
0 komentar:
Posting Komentar