MUSEUM
BAHARI, JAKARTA
Posted By
: Santi Ayu, 17 April 2015
Museum Bahari menyimpan
126 koleksi benda-benda sejarah kelautan. Terutama kapal dan perahu-perahu
niaga tradisional. Diantara puluhan miniatur yang dipajang terdapat 19 koleksi
perahu asli dan 107 buah miniature, foto-foto dan biota laut lainnya.
Adalah bekas gudang rempah-rempah VOC Belanda, terletak di
tepi Teluk Jakarta yang indah. Dahulu kala tempat itu menjadi pusat perniagaan
penting. Begitu sibuknya sehingga perlu penjagaan ketat, Kapal-kapal besar dan
kecil hilir-mudik mengangkut rempah-rempah, berupa cengkeh, buah pala, lada,
kayu manis, kayu putih, tembakau, kopra, daun teh, biji kopi dan lain-lain yang
diangkut ke Eropa dan beberapa Negara lain di dunia.
Hasil bumi Nusantara ini menjadi monopoli komoditi penting
perusahaan dagang VOC (Vereningde Indische Compagnie) Belanda. Hingga kini
gudang tua itu masih bertengger dan terkesan angker. Cocok diubah fungsinya
sebagai museum yang menyimpan benda-benda sejarah kelautan.
Bangunan tahun 1652
Bangunan berlantai tiga itu
didirikan tahun 1652 oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda di Batavia.
Tepatnya di jalan Pasar Ikan Jakarta Utara, menghadap Teluk Jakarta. Disebelah
kanan tak jauh dari gudang induk dibangun menara. Sekarang dikenal dengan nama
Menara Syahbandar dibangun tahun 1839 untuk proses administrasi keluar masuknya
kapal sekaligus sebagai pusat pengawasan lautan dan daratan disekitarnya.
Secara signifikan gudang tersebut
mengalami perubahan. Tahun perubahan itu dapat dilihat pada pintu-pintu masuk.
Di antaranya tahun 1718, 1719 dan 1771. Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya
ketika perang dunia II meletus (1939-1945) gudang tersebut menjadi tempat
logistik peralatan militer tentara Dai Nippon. Setelah Indonesia Merdeka
difungsikan untuk gudang logistik PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan PTT (Post
Telepon dan Telegram).
Sejauh ini gudang bersejarah itu
tampak lebih utuh setelah direnovasi Pemda DKI Jakarta dan diresmikan menjadi
Museum Bahari pada 7 Juli 1977 oleh Ali Sadikin, yang pada waktu itu menjabat
Gubernur DKI Jakarta. Di perut Museum Bahari tersimpan benda-benda sejarah
berupa kapal dan perahu-perahu asli maupun miniatur. Mengingatkan kepada kita
bahwa sejak zaman dahulu kala “Nenek moyangku orang pelaut” ada kebanggaan
“kebaharian” dari dalam pemberani di dalam mengarungi samudera luas dan ganas.
Dari
perahu Bugis ke kapal VOC
Di antara materi sejarah bahari yang dipajang antara lain
perahu tradisi asli Lancang Kuning (Riau), Perahu Phinisi Bugis (Sulawesi
Selatan), Jukung Karere (Irian) berukuran panjang 11 meter. Miniatur Kapal VOC
Batavia, miniatur kapal latih Dewa Ruci, biota laut, foto-foto dan sebagainya.
Museum ini selain sebagai pusat informasi budaya kelautan, juga menjadi tempat
wisata pendidikan bagi leluhur baru yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai
sejarah kebaharian bangsa tempo dulu.
Arsitek kolonial Belanda betul-betul
mempersiapkan bangunan berlantai tiga itu secara matang. Agar dapat bertahan
lama terhadap gempuran badai laut tropis yang mengandung garam. Tembok
sekeliling gudang sangat tebal, tiang-tiag penyangga langit-langitnya pun
kokoh. Menggunakan kayu ulin (kayu besi) berukuran besar sehingga tak gampang
keropos dari gangguan cuaca mau pun rayap. Tiang-tiang penyangga itu berjajar
ditiap lantai ruangan yang luas lagi lebar. Bayangkan, sejak gudang itu
dibangun hingga sekarang, tiang penyangganya masih kokoh. Udara ruangan pun
tetap terjaga. Dengan demikian rempah-rempah yang tersimpan disitu bisa
bertahan lama tak gampang membusuk. Rancangan teknis pengaturan sirkulasi udara
menjadikan seluruh ruangan terasa sejuk. Sehingga rempah-rempah itu tetap segar
sebelum dikirim keberbagai tempat nan jauh. Pengaturan sirkulasi udara itu
diupayakan dengan menempatkan puluhan jendela berukuran besar pada tiap
ruangan. Bahkan jendela-jendela yang lebar itu selalu terbuka siang-malam sepanjang
masa.
Wisatawan bule tundukkan kepala
Yang menarik perhatian ialah pada
awal diresmikannya Museum Bahari itu banyak mendapat kunjungan wisatawan.
Tetapi belakangan ini tampak sepi. Angin laut dibiarkan semilir mengipasi
benda-benda koleksi sejarah yang kesepian. Kalaupun ada rombongan yang
menjenguk, layaknya lebih banyak dikunjungi wisawan mancanegara katimbang
wisatawan lokal. Prosentasinya 65 % wisatawan mancanegara dan 35 % wisatawan
lokal. Wisatawan Belanda tercatat menempati urutan teratas dalam jumlah
pengunjung. Menyusul wisatawan Eropa lainnya. Jerman, Inggris, Perancis,
Australia, Selebihnya bangsa-bangsa dunia lainnya, termasuk Asia.
Mengapa kunjungan wisatawan Belanda
lebih banyak dibandingkan wisatawan Eropa lainnya ? Ini dapat dipahami karena
bangsa Belanda menyimpan hubungan emosional dengan Indonesia. Hampir 3,5 abad
lamanya kolonial Belanda menduduki Nusantara. Wajar jika wisatawan Belanda yang
berkunjung itu seringkali terkagum-kagum. Dari mulai opa dan oma, hingga anak
cucu mereka. Terutama opa dan oma-oma Belanda yang pernah tinggal di Indonesia
khususnya di Batavia.
Mereka tak hanya manggut-manggut
tapi juga berdecak kagum menyaksikan bekas gudang tua yang dibangun oleh nenek
moyang mereka. Bahkan tidak sedikit moyang mereka yang tutup usia dan jasadnya
dimakamkan di Batavia. Seperti dapat dilihat pada kuburan Belanda di Ancol,
Menteng Pulo, di Museum Wayang Jakarta Kota, Tanah Abang I, dll, menjadi saksi
sejarah bahwa bangsa kulit putih yang doyan menyantap roti keju itu cukup lama
tinggal di Indonesia.
Melesak 80 cm
Faktor usia, ditambah terjangan
badai tropis dan seringnya pasang air laut, menjadikan Museum Bahari (bekas
gudang tua) itu makin melesak dan tenggelam sedalam 80 Cm. “Lihatlah
pintu-pintu dilantai bawah. Tampak pendek karena melesak kedalam tanah urugan
akibat pasang laut ditiap musim. Dahsyatnya fenomena alam yang mengirim air
laut dan menggenangi seluruh areal Museum, menjadikan bekas gudang tua itu kini
makin membenamkan sosoknya kedalam bumi. Kalau tidak diurug, air laut pasang
akan terus menggenang”.ungkap MA Yanto, mantan Wakil Kepala Museum Bahari.
Akibat urugan tanah itulah
menjadikan plafon ruang pamer di lantai bawah tampak menjadi lebih pendek
mendekati lantai. Tetapi yang memprihatinkan ialah pintu masuk ruang pamer yang
makin rendah itu memaksa wisatawan Eropa yang tubuhnya jangkung harus
menundukan kepala saat melewati pintu masuk. Tetapi kata MA Yanto, wistawan
bule itu tidak mengeluh bahkan tertawa gembira.
Pusat wisata bahari
Mimpi Pemda DKI Jakarta sejak
Gubernur Sutiyoso berkuasa hingga turun panggung, gagal mengusung seputar
Museum Bahari menjadi pusat wisata laut terbesar dan mewah. “Saya tidak tahu
persis kenapa rencana akbar menata, meningkatkan derajat Museum Bahari dan
seputar Pasar Ikan menjadi tempat wisata indah, nyaman dan menyandang fungsi
ekonomi harus dibatalkan”, ungkap MA Yanto, yang waktu itu menjabat Wakil
Kepala Museum Bahari, kepada wartawan.
Lebih jauh MA Yanto mengatakan,
rencana tersebut sebetulnya menjadi prioritas utama bagi pengembangan wisata
bahari di Teluk Jakarta. Bahkan katanya untuk menggolkan mimpi Pemda DKI
Jakarta itu katanya sudah berulangkali dibicarakan dalam berbagai pertemuan
para pejabat Pemda DKI Tetapi mungkin karena tidak tersedianya anggaran yang
memadai dan tidak adanya investor, tidak dapat diwujudkan. Padahal Pemda DKI
Jakarta waktu itu sedang giat-giatnya melaksanakan sejumlah proyek besar
lainnya yang lebih bermanfaat.
Bila mimpi Pemda DKI Jakarta
terealisir, maka diseputar Museum Bahari akan lebih hidup. Rencananya dulu
disekitar situ akan dibersihkan kemudian dirombak total. Termasuk pasar dan
bangunan keong yang tampak kumuh. Sepanjang daratan di depan Museum Bahari akan
digali sehingga menyatu dengan pantai laut Sunda Kelapa. Disitu wisatawan dapat
menikmati perahu layar dan menghirup udara malam yang segar. Selain itu bisa
menikmati hidangan khas seafood di restoran apung yang letaknya tidak jauh dari
Museum Bahari.
0 komentar:
Posting Komentar